Hilirisasi di sektor tambang dan perindustrian sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah bersama pelaku industri di Tanah Air. Katanya, dengan mengolah raw material di dalam negeri hingga mejadi produk turunan bernilai tinggi bisa cuan alih-alih mengekspor begitu saja ke luar negeri. Namun, cuan yang diomongin di serba-serbi hilirisasi ternyata cuma dirasakan oleh satu pihak saja, yaitu Kementerian ESDM.
Lho bagaimana tidak, kalau Kementerian ESDM dan serentetan kebijakan soal larangan ini dan itu serta pajak ini itu ternyata buat pusing para pengusaha. Misalnya, larangan ekspor yang bisa membuat pendapatan industri semakin sedikit karena harga domestik jomplang dengan harga global.
Larangan ekspor (LE) batu bara sempat buat heboh di 1 Januari 2022 lalu, meski akhirnya LE tersebut dicabut. Namun pengusaha batu bara kembali dipusingkan dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) di mana mereka wajib memasok sejumlah batu bara ke dalam negeri dan dihargai lebih rendah dari harga global!
Pemerintah pun berjanji akan membentuk BLU pemungutan iuran batu bara agar harga domestik dan global bisa setara, namun kembali Pemangku Lembaga menjelaskan bahwa pihaknya saat ini masih melakukan “proses harmonisasi” dari pembentukan BLU batu bara ini.
Setelah batu bara, lembaga tersebut dikabarkan sedang membidik sektor timah. Rencananya, di Juni 2022 lalu, tarif royalti timah akan dinaikkan dari flat 3 persen menjadi progresif sesuai dengan harga yang berlaku di pasar global.
Lagi-lagi sama seperti batu bara kebijakan kenaikan tarif royalti timah ternyata belum ketuk palu. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin mengatakan, “Hal ini sedang kami diskusikan, kami akumulasikan angka-angkanya sehingga negara akan mendapat penerimaan yang lebih banyak, dan badan usaha mendapat penerimaan yang berkurang, tapi tidak terlalu banyak berkurangnya,” tuturnya.
Dan baru-baru ini yang juga masih hangat adalah pajak progresif ekspor nikel untuk produk feronikel dan Nickel Pig Iron (NPI). Menurut Menteri Arifin, alasan pemungutan pajak ekspor dikarenakan produk-produk turunan dari olahan nikel tersebut masih memiliki nilai tambah yang kecil sama seperti barang mentahnya. “Sekarang bisa diproses jadi dengan proses HPAL untuk bisa menghasilkan NHP itu yang harus kita upayakan, karena nilai tambah itu harus bergulir,” ungkapnya.
Tapi yang ia lupakan, industri nikel dalam negeri masih memiliki keterbatasan teknologi dan pengetahuan dalam membuat produk olahan nikel di atas kedua produk tersebut. Akhirnya, meski direncanakan akan ketok palu di tengah September, nyatanya pengenaan pajak ini ditunda. Wajar saja, banyak pelaku industri yang belum setuju dan meminta pemerintah untuk meninjau ulang.
Tak hanya pajak di sektor SDA. Pajak karbon juga sedang diinisiasi lembaga tersebut. Singkatnya, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Tentu, penetapan pajak ini akan banyak berimbas ke para pelaku industri yang menggunakan bahan bakar minyak bumi, gas alam dan batu bara yang berartikan seluruh pelaku industri karena realisasi industri yang telah memperoleh sertifikasi industri hijau hingga tahun 2021 baru mencapai 0,15 persen dari 29.000 jumlah industri skala menengah dan besar yang ada. Selain itu, Kementerian ESDM juga dinilai coba-coba cari cuan dari program kompor listrik yang ujungnya dibatalkan karena dikeluhkan tarif listrik rumah tangga akan naik.
Kalau dilihat, kebijakan Kementerian ESDM mempunyai pola yang sama, ia akan mengumumkan kebijakan pemungutan pajak yang disebutnya demi mengakselerasi perekonomian negara namun nyatanya membuat rakyat menjerit. Hingga akhirnya Kementerian ESDM menunda atau membatalkan kebijakan tersebut.
Hal ini tak akan terjadi bila road map industri yang disiapkan pihak ESDM sudah jelas dari A-Z dan juga disusun secara transparan ke publik. Tapi nyatanya, lembaga yang memayungi sektor pertambangan selalu ‘menjatuhkan bom’ tiba-tiba terutama kepada pengusaha. Sudahlah nggak bisa jual dengan harga tinggi karena adanya larangan ekspor ditambah malah harus membayar sejumlah pajak ini itu ke pemerintah. Stres ‘kan?
Discussion about this post