Pemerintah baru saja mengumumkan penurunan harga tes PCR untuk wilayah Jawa dan Bali. Hal itu dikarenakan mahalnya harga tes PCR yang semula Rp495 ribu menjadi Rp275 ribu untuk wilayah Jawa. Sementara, untuk wilayah luar Jawa dan Bali yang semula Rp525 ribu menjadi Rp300 ribu.
Mahalnya Harga Tes PCR
Penurunan harga tes PCR tentunya menguntungkan bagi masyarakat, namun apakah profitable bagi industri kesehatan, khususnya pihak rumah sakit? Keputusan pemerintah dengan menurunkan tarif tes PCR ternyata menyebabkan berkurangnya keuntungan rumah sakit. Tes PCR bisa murah apabila memakai alat buatan sendiri di dalam negeri.
Bila dipahami, banyak faktor yang mempengaruhi tarif harga tes PCR, seperti mengimpor reagen mBiocoV-19 dan bujet bagi para pekerja medis, serta penggunaan mesin PCR itu sendiri.
Biaya operasional untuk tes PCR dapat ditekan apabila penggunaan mesin PCR dioptimalkan sesuai dengan kapasitas oleh pihak rumah sakit atau laboratorium. Seperti yang diketahui, dengan satu mesin PCR, puluhan hingga ratusan spesimen dapat diuji secara sekaligus.
Tes usap PCR muncul sejak awal pandemi pada 2020 lalu, dan perhitungan biaya yang terbilang mahal yakni lebih dari Rp2 juta. Pihak rumah sakit beralasan bahwa mesin PCR dan reagen harus diimpor. Selain itu, tenaga medis yang mampu menggunakan mesin PCR juga masih terbatas.
Biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai 40-50% dari keseluruhan total harga tes RT-PCR. Dengan rincian biaya pembelian alat pelindung diri tenaga kesehatan dan pembelian reagen yang seharusnya bisa lebih murah jika alatnya dibuat sendiri. Sisanya adalah administrasi, biaya jasa tenaga medis dan operasional mesin PCR. Untuk mesin PCR sendiri harganya mencapai Rp2 miliar.
Perbedaan Harga Tes PCR
Rakyat-rakyat pun berceloteh dan mempertanyakan mengapa harga tes PCR sempat berbeda-beda? Sebenarnya selama ini pengoptimalan mesin PCR telah dipraktikkan oleh sejumlah rumah sakit dan laboratorium. Spesimen pasien dikumpulkan hingga memenuhi kapasitas mesin dan diuji secara bersamaan.
Karena ada pasien yang ingin hasilnya keluar lebih cepat, mesin yang seharusnya dapat menampung 100 spesimen hanya dipakai untuk menguji 10 orang saja sehingga tersisa 90 slot yang kosong. Hal itulah yang membuat tarif tes PCR menjadi lebih mahal bagi pasien yang hasilnya ingin keluar lebih cepat.
Pembuatan Komponen Lokal
Agar harga tes PCR tidak mahal dan tidak melulu impor, akhirnya pemerintah mendorong untuk membuat alat sendiri. Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 pun dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari sejumlah kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, perguruan tinggi, industri farmasi dan rumah sakit.
Reagen tes PCR bernama mBioCoV-19 RT-PCR Kit pun berhasil diproduksi oleh perusahaan rintisan alat kesehatan, yakni Bio Farma dan Nusantics. Tetapi masih ada kekurangannya, reagen tersebut dibuat untuk laboratorium yang menggunakan alat PCR dengan tipe sistem terbuka.
Namun, Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Riset dan Inovasi Nasional, Agung Eru Wibowo mengatakan masalah ada pada bahan baku reagen mBioCoV-19 yang masih tetap harus diimpor. Alhasil, tarif PCR tetap melambung tinggi.
“Kapasitas produksi juga belum besar, sehingga efisiensi masih rendah,” kata Agung.
Selangkah lebih maju, Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjajaran bersama dengan PT Gerbang Telekomunikasi berhasil mengembangkan alat Auto Magnetic Extractor (AutoMagER) yang berfungsi mengecek sampel pasien Covid-19.
Dalam pemeriksaan PCR, AutoMagER digunakan untuk mengekstrak RNA pada sampel baru setelah itu dimurnikan. Kapasitas ekstraksi yang dimiliki AutoMagER ini mencapai 96 sampel dengan waktu 15-40 menit. Alat ini juga dinilai lebih efektif dan dapat dipakai semua jenis mesin PCR.
Anggota tim peneliti Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjajaran, Savira Eka Wardhani, mengatakan bahwa saat ini timnya sudah menggaet produsen lokal agar AutoMagER dapat diproduksi secara massal dengan mengurus perizinannya.
“Kami masih menunggu izin edar,” ujar Savira.
Savira juga berharap komponen pendukung tes PCR ini dapat segera diproduksi dan disebarkan secara massal agar tidak perlu impor lagi keluar sehingga harganya dapat berkurang dan jauh lebih murah. Karena tes massal bagaimanapun juga penting untuk mencegah penularan virus.
Akan tetapi, berdasarkan celotehan rakyat yang beredar, rupanya terdapat sejumlah nama pejabat negara yang diduga meraup keuntungan dari adanya pandemi dalam bisnis segala jenis tes Covid-19 termasuk tes usap PCR. Bahkan bisnis tersebut bisa menghasilkan keuntungan hingga triliunan rupiah per 1 juta orang yang tes PCR. Apakah ini bisa menjadi penghambat digunakan secara masifnya mesin PCR lokal? Semoga saja tidak.
Discussion about this post