Kehadiran pajak progresif nikel yang tercantum dalam PP No. 26/2022 dinilai mengancam keberadaan hilirisasi. Hal ini dikarenakan nantinya produk nikel akan dikenakan pajak jika diekspor ke luar negeri, terutama untuk komoditas olahan nikel dengan bahan baku kurang dari 70%. Tentu hal ini akan merepotkan pelaku usaha, kan?
Perlu diingat kembali, bahwa keberadaan hilirisasi di Indonesia sudah menjadi tonggak perekonomian, loh. Presiden Jokowi bahkan menerangkan kalau hilirisasi nikel melejit jumlah kenaikannya sampai 2.300% atau sekitar Rp360 triliun pada Oktober 2022. Jumlah yang nggak sedikit!
Sayangnya, gegara keberadaan pajak progresif nikel tersebut, hilirisasi terancam terbengkalai atau bahkan sirna. Disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, ekspor komoditas olahan nikel dengan bahan baku kurang dari 70% akan dikenakan pajak tinggi.
“Ekspor bahan baku tersebut akan dikenakan pajak yang cukup tinggi. Dengan demikian, negara setidaknya mendapatkan kompensasi saat mengizinkan ekspor bahan baku bijih nikel,” paparnya pada bulan Mei 2022.
Dari sisi negara, pajak progresif nikel memang menguntungkan. Namun, dalam berbisnis, pihak pengusaha dan investor akan merasa tertekan dengan adanya pajak progresif nikel ini. Hal ini diamini oleh peneliti, salah satunya Ferdy Hasiman dari Alpha Research Database.
Menurutnya, kebijakan pajak progresif nikel perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas serap industri lanjutan olahan nikel dalam negeri. Ia menambahkan, kebijakan jadi krusial karena menjadi jaminan program hilirisasi serta tata niaga nikel dalam negeri. Ia berharap pemerintah juga turut mengimbangi dengan meningkatkan kapasitas serap industri lanjutan olahan nikel dalam negeri.
Pernyataan Ferdy Hasiman diamini juga oleh Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia. Ia memaparkan kalau pengenaan pajak ekspor atas hasil pengolahan nikel jika ditetapkan harus dilakukan dengan cermat dan saksama.
“Penerapannya harus hati-hati, serta dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan pengembangan iklim investasi di Indonesia,” imbuhnya.
Dari sisi pengusaha yakni Direktur INCO, Bernardus Irmanto, juga merasakan hal serupa. Ia menjelaskan kalau pengenaan pajak ini nantinya bakal membuat para pengusaha tertekan.
“Namun, pengenaan pajak ini akan memberikan tekanan terhadap industri nikel, terutama perusahaan yang melakukan ekspor produk olahan nikel. PT Vale tidak terkecuali karena kami mengekspor semua produk kami ke Jepang,” tuturnya.
Menurut Bernardus, jika tujuan dari pengenaan pajak ini untuk mendorong hilirisasi, mungkin perlu dikaji waktu pelaksanaan dengan ketersedian downstreaming facility di Indonesia.
Selain membuat pelaku usaha gigit jari, pajak progresif nikel bikin iklim investasi di sektor hilir menjadi terganggu. Hal ini dikarenakan kebijakan yang bergonta-ganti dari perjanjian bisnis di awal akan membuat investor bertanya-tanya mengenai konsistensi Indonesia dalam berbisnis.
Ibarat seorang pacar yang ditanya hari ini ingin makan bakso, 5 menit kemudian sudah berganti ingin makan cilok, lalu 10 menit kemudian ingin makan steak; jadi sebenarnya, ingin makan apa? Jangan sampai, Indonesia dinilai plin-plan di mata investor khususnya dari luar negeri.
Jika hilirisasi terancam sirna, bukan tidak mungkin investor juga akan mangkir meninggalkan Indonesia. Mula-mula transfer investasi berupa uang akan ditarik, lalu bukan tidak mungkin dilanjutkan dengan pencabutan teknologi dan pengetahuan bakal menyusul.
Tak terbayangkan jika nantinya Indonesia benar-benar ditinggalkan oleh investor gegara kebijakan kontroversial, salah satunya pajak progresif nikel. Hilirisasi nikel yang selama ini mendulang realisasi investasi triliunan rupiah dan berhasil menyelamatkan ekonomi Indonesia selama pandemi COVID-19; akankah bakal lenyap begitu saja? Tentu ini akan merugikan ekonomi Indonesia, apalagi resesi global di depan mata. Semoga hal ini tidak terjadi di negaramu, ya!
Discussion about this post