Meski akhirnya Menko Luhut sudah klarifikasi lewat akun Instagram pribadinya pada Kamis (4/11) bahwa dirinya tak ambil untung di bisnis tes usap RT-PCR di PT GSI dan hanya berniat untuk membantu Indonesia dalam pengadaan alat tes Covid-19 yang dulunya susah di awal pandemi, namun tetap banyak pihak yang menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam klarifikasinya.
Banyak pihak yang masih lanjut melaporkan kasus bisnis PCR ini kepada penegak hukum. Diantaranya PRIMA, politisi hingga ormas. Dan akhirnya, Laporan PRIMA (Partai Rakyat Adil Makmur) ke KPK terkait dugaan 2 pejabat negara yang melakukan bisnis tes usap RT-PCR ke KPK pada Kamis (4/11) telah mendapatkan kabar lanjutan.
Kini KPK secara resmi menyatakan bahwa mereka akan menindaklanjuti kasus dugaan korupsi bisnis PCR tersebut, “Kita mencari keterangan dari pihak yang mengetahui, yang mendengar, yang melihat dan mengumpulkan bukti-bukti apakah betul ada tindak pidana korupsi atau tidak. Kalau betul ada tentu kita proses secara hukum,” kata Firli Bahuri di Gedung Gradhika kompleks Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kamis (11/11).
Sebelumnya, ketika kasus dugaan dua menteri berbisnis pcr ini awal terkuak, ketua KPK Firli Bahuri menjanjikan KPK akan mendengar suara rakyat yang hanya menginginkan satu hal, yaitu negara indonesia bebas dari praktik-praktik korupsi.
Terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi termasuk dugaan korupsi Formula-E dan tes PCR, kami sedang bekerja. Prinsipnya, kami sungguh mendengar harapan rakyat bahwa Indonesia harus bersih dari korupsi. pic.twitter.com/dp4MsxXKw2
— firlibahuriofficial (@firlibahuri) November 4, 2021
Alasan PRIMA melayangkan laporan dan mendesak KPK untuk menindak tegas Menko Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir adalah berdasarkan naik untungnya harga tes PCR sehingga memunculkan prasangka terjadinya tindak korupsi.
Terlebih adanya laporan investigatif Tempo dan pemberitaan media lainnya soal hubungan anak perusahaan Luhut dan Erick yang terhubung dengan PT GSI yang mengelola lab bisnis tes PCR. Tidak adanya standarisasi harga tes PCR dari awal pandemi dan tiba-tiba saja bisa diselenggarakan hanya dengan Rp300 ribuan mengindikasi adanya ketidaktransparan harga tes PCR.
Tidak adanya transparansi membuat sebagian kalangan menduga adanya pola korupsi berbentuk trading in influence. Berbeda dengan suap, trading in influence atau perdagangan pengaruh adalah ketika pejabat publik, baik untuk kepentingan dirinya atau orang lain, menyalahgunakan pengaruhnya karena adanya janji, tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya baik secra langsung atau tidak langsung dari lembaga pemerintah atau lembaga publik pihak negara.
Sebuah pola yang menyajikan tindak pidana korupsi dan terangkum di dalam Pasal 3 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 perihal Tindak Pidana Korupsi.
Di dalam UU Tipikor tersebut, secara gamblang dinyatakan, bahwa setiap orang yang bertujuan memperkaya maupun menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta.
Discussion about this post