Akhirnya 4 ORMAS yang menyatakan akan melayangkan laporan kasus dugaan bisnis tes PCR yang melibatkan pejabat telah menyambangi gedung BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada Selasa (9/11), sesuai jadwal yang direncanakan.
Seperti yang diketahui, sebelumnya pembantu Presiden RI ada yang diduga terlibat dalam bisnis PCR. Kasus tersebut dilaporkan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dan elemen mahasiswa ke KPK dengan dugaan bisnis tes PCR. Politisi Ferry Joko Juliantono juga melaporkan kasus ini ke BPK dan DPR.
Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) itu terdiri LBH Kesehatan, Indonesia Audit Watch (IAW), PETISI ‘28, dan Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta.
Laporan yang diserahkan ke Ketua, Wakil Ketua dan Para BPK RI itu berisi desakan untuk melakukan audit investigasi atas kasus bisnis PCR. Seiring adanya temuan publik bahwa adanya dugaan terjadinya afiliasi beberapa individu penyelenggara negara, yakni pembantu Presiden RI yang ikut menciptakan aturan wajib tes PCR dan diduga terlibat dalam putaran bisnis impor sampai tata kelola test PCR.
Peraturan wajib tes PCR yang berimplikasi pada belanja masyarakat sekitar Rp23 triliun ini menurut pihak ORMAS tidaklah adil disaat perekonomian melemah serta angka pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Tes PCR Bukan Prokes Wajib Rekomendasi WHO
Lebih lanjut, dalam laporan 4 ORMAS tersebut kemudian menyinggung tentang Surat Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2020, tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang menekankan penerapan protokol kesehatan sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Semua instrumen pelaksana tersebut juga disebutkan harus mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Presiden.
Tes PCR hanya tepat bila dilakukan secara ketat terhadap pelaku perjalanan lintas negara yang bertujuan untuk mencegah strain atau jenis virus baru masuk ke Indonesia yang berasal dari luar negeri.
Perspektif epidemiologi dan ketepatan tes PCR sebenarnya sudah menjadi pengetahuan publik, namun para pembantu Presiden yang menanganinya tetap saja menerapkan aturan wajib tes PCR terhadap pengguna moda transportasi udara dan bagi pasien yang akan dilakukan tindakan medik di sarana pelayanan kesehatan.
Berdasarkan penilaian yang mereka utarakan, perubahan-perubahan harga tes PCR dari kisaran Rp2.500.000 hingga menjadi Rp275.000 menjadi pertanyaan besar bagi pihak LBH dan yang lainnya, karena harga yang di luar kelaziman itu bisa dengan mudah diturunkan. Padahal komponen pemeriksaan dalam penetapan batas tertinggi tarif PCR adalah bahan habis pakai berupa reagen hingga alat pelindung diri (APD) petugas laboratorium, komponen administrasi, serta biaya lainnya seperti biaya operasional mesin PCR dan listrik.
Maka pihaknya memohon kepada BPK RI untuk berkenan menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai auditor keuangan negara guna mengaudit hal yang telah disampaikan.
Pihaknya pun berharap, permohonan tersebut dapat disempurnakan oleh BPK karena kemampuan serta kewenangannya dijamin oleh Undang-undang.
BPK Bisa Periksa Pejabat yang Menyelewengkan Dana Covid-19
Sekadar informasi, menurut putusan Mahkamah Konstitusi yang terbaru di UU No.2 Tahun 2020 tentang Perppu Covid-19 bahwa negara termasuk pejabatnya dapat dituntut hukum bila menyelewengkan dana penanganan Covid-19. Demikian pejabat-pejabat ini bisa diperiksa oleh BPK ataupun institusi penegak hukum lain seperti KPK dan POLRI.
Lebih lanjut, Haris Rusly Moti mewakili ORMAS PETISI ’28 mengungkapkan, kala dirinya memberitahukan ke khalayak tentang rencananya melaporkan kasus bisnis tes PCR ke BPK, bahwa laporan ini dibuat mengingat hutang negara yang sudah tinggi, namun kenyataanya beberapa pejabat negara manfaatkan momen ini untuk menyelewengkan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri lewat bisnis tes PCR.
“Tapi segelintir pejabat negara justru makin kaya dengan selewengkan kewenangan, kasus PCR, dan lain-lain. KPK ungkap 70 persen pejabat bertambah kaya selama pandemi,” kata dia.
Sobat, hari ini, Selasa Wage, 9-11-2021, kami LBH Kesehatan, Indonesia Audit Watch, PETISI 28 & Insitut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, serahkan dokumen mendesak BPK lakukan AUDIT INVESTIGASI skandal PCR. Jika BPK bersekongkol, kami akan datang ke auditor international, PWC, dll. pic.twitter.com/XGdtMp4njc
— HARIS RUSLY MOTI (@motizenchannel) November 9, 2021
4 ORMAS tersebut juga menyatakan bahwa jika ada persekongkolan antara BPK sebagai supreme audit dengan kartel polymerase chain reaction (PCR), maka pihaknya akan meminta bantuan kepada PWC dan yang lainnya sebagai auditor internasional.
Discussion about this post